Menu

Mode Gelap
 

Lensa Nusantara · 14 Mar 2023 15:26 WIB ·

Sawahlunto: Kota Tambang yang Melawan Eksploitasi Alam Para Kolonialis


 Sawahlunto: Kota Tambang yang Melawan Eksploitasi Alam Para Kolonialis Perbesar

Oleh: Alemora Hadiz

SAWAHLUNTO|TOP TRAVELERS–Selain dikenal sebagai kota wisata sejarah, Sawahlunto juga dikenal sebagai kota wisata olahraga. Sawahlunto merupakan lokasi pertambangan batubaru pertama di Asia Tenggara yang kini menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO. Situs batubara dan berbagai museum sudah lama menjadi daya tarik wisatawan. Namun, Sawahlunto juga merupakan daya tarik wisata bagi para atlet ataupun pehobi sepeda dan olahraga lainnya. Berbagai kegiatan seperti tur sepeda, Tour de Singkarak dan kompetisi Downhill Mountain Bike di Puncak Polan, serta Sawahlunto Coal Trail Marathon yang melintasi tempat-tempat bersejarah menjadikan kota di Sumatra Barat ini sebagai salah satu destinasi para wisatawan asing.

 

Tour de Singkarak 2021 (getlost.id)

Sejarah Sawahlunto sebagai daerah kecil yang pada mulanya adalah tanah ulayat Nagari Kubang hingga menjadi salah satu jantung ekonomi pihak kolonial tidak terjadi tanpa pergolakan rakyat. Sawahlunto merupakan daerah persawahan yang dibuat oleh nenek moyang orang Kubang di sepanjang aliran batang lunto (batang runtuh). Dari sinilah asal nama Sawahlunto.

Sawahlunto menjadi wilayah yang penting bagi pihak kolonial Belanda ketika mereka menemukan batubara dan ingin membangun tambang batubara. Namun, upaya mengeksploitasi alam Sawahlunto tentunya tidak terjadi tanpa perlawanan masyarakat. Kisah perlawanan sejarah terkait keberadaaan tambang batubara yang kemudian dikenal dengan nama Ombilin telah diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi sebagaimana tradisi masyarakat Minangkabau.

 

Saat kompetisi Mountain Bike 2022 di Puncak Polan (Foto: Jamhur)

 

Salah satu kisah penting yang telah diabadikan masyarakat adalah perlawanan yang terjadi pada 1908 yang dikenal sebagai “Pemberontakan Tahun 1908”. Peristiwa ini baru dituangkan dalam sebuah naskah buku pada 1979 oleh Abu Salfani, berjudul “Perjuangan dan Perlawanan Rakyat Kenagarian Kubang dan Lunto terhadap Kolonial Belanda di Sawahlunto Tahun 1908”. Anehnya, naskah yang sudah siap terbit ini akhirnya gagal terbit dan kini tidak dapat ditemukan lagi di perpustakaan pemerintah di Kota Sawahlunto. Namun, peristiwa tersebut, dipaparkan oleh, Erwiza Erman, dalam buku Membaranya Batubara, Konflik Kelas dan Etnik, Ombilin Sawahlunto-Sumatra Barat (1892-1996) yang terbit pada 2005.

Menurut sumber-sumber tersebut, sebelum pihak Belanda membangun pertambangan batubara pada 1892, mereka melakukan perjanjian dengan pihak Nagari Kubang untuk dapat melakukan aktivitas penambangan batubara di atas tanah ulayat Nagari Kubang. Pihak Belanda mengundang Ninik Mamak Kubang sebagai pemilik ulayat pada sebuah pesta adat. Pada pertemuan adat tersebut, dijelaskan bahwa akan diberikan pengganti tanaman yang ada di atas tanah dalam bentuk mata uang gulden kepada Nagari. Artinya, tidak terjadi pelepasan hak atas ulayat kepada kolonial Belanda.

 

Sawahlunto Coal Trail Marathon 2019 (republica.co)

Pada perjalanannya, uang yang diterima oleh Nagari tidak setimpal dengan hasil bumi dan panen sawah masyarakat Nagari Kubang. Hal ini merupakan akibat dari daerah yang digunakan untuk tambang batubara adalah sawah terbesar. Selain itu, ada kebijakan pajak yang memberatkan masyarakat dan penerapan kerja rodi. Karena kebijakan ini dan perjanjian bagi hasil yang tidak sesuai dengan kesepakatan pada pesta adat, maka muncul gerakan bawah tanah yang merencanakan sebuah perlawanan.

Perlawanan ini pada awalnya dipimpin oleh ulama terpandang Nagari Kubang saat itu, Tuanku H. Khatib (1838-1915). Namun, Belanda sudah mencium keberadaan gerakan ini. Menjelang akhir tahun 1907, Tuanku H. Khatib ditangkap pihak Belanda dan ditawan di Tangsi Tuan Skaut. Tuanku Tempa, seorang ulama terpandang dari Nagari Lunto akhirnya memimpin serangan rakyat Nagari Kubang pada 1 Januari 1908 terhadap kolonial Belanda di Sawahlunto yang dikenal dengan “Pemberontakan Tahun 1908” atau Porang Tahun Salapan.

Sawahlunto circa 1910 (Wikipedia)

Perlawanan yang dimulai pada 01.30 dini hari ini sengaja dilakukan pada pergantian tahun saat pihak Belanda kurang sigap karena sedang merayakan Tahun Baru. Penyerangan terutama ditujukan untuk menembus Tangsi Tuan Skaut, tempat Tuanku H. Khatib ditahan, tetapi ternyata beliau tidak ditemukan di situ. Perlawanan berlangsung sekitar 2,5 jam dengan 84 serdadu Belanda yang menemukan ajalnya dan 4 orang korban di pihak Nagari.

Setelah perlawanan ini, Belanda tidak berhasil menangkap Tuanku Tempa. Belanda kemudian melakukan penangkapan terhadap berpuluh-puluh laki-laki di Kubang, termasuk mereka yang tidak melakukan penyerangan. Sementara itu, Tuanku H. Khatib terus disodorkan surat perdamaian untuk ditandangani, yang terus beliau tolak. Karena penangkapan terhadap orang-orang yang tak bersalah terus berlanjut, akhirnya setelah sepuluh bulan ditawan, Tuanku H. Khatib menandatangani sebuah surat perdamaian. Setelah penandatanganan ini, Tuanku H. Khatib dan semua yang telah ditahan dibebaskan oleh pihak Belanda.

 

SAGE II Vacation Home (Top Travelers). Anda bisa menyaksikan kompetisi Mountain Bike di Puncak Polan dari SAGE II.

Hal yang menarik dari peristiwa ini adalah bahwa baik Tuanku H. Khatib maupun Tuanku Tempa tidak diasingkan oleh pihak Belanda. Malah beberapa waktu setelah pembebasan tersebut, Belanda melaksanakan upacara adat “membantai kerbau” di Balaikubang sebagai simbol “perdamaian” yang dihadiri oleh para petinggi Belanda. Bahkan setelah peristiwa ini Belanda membangun sekolah “volkschool” di Balai Kubang (3 kelas), balai adat di Balai Kubang, serta beberapa jembatan di sungai Batang Lunto dan di beberapa anak sungai.

Namun, masyarakat adat berpegang teguh pada prinsip bahwa kompensasi apa pun yang diberikan pihak Belanda bukan berarti merupakan pelepasan hak atas tanah ulayat mereka di pertambangan itu. Selain prinsip ini, menurut Erwiza Erman (2005), pembayaran ganti rugi untuk tanah yang hanya dua kali dan pembayaran biaya sewa tahunan (yang tidak konsisten) oleh pihak Belanda menyulut konflik yang berkepanjangan hingga akhir penjajahan Belanda.

 

Songket Silungkang (kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Ketika Pertambangan Batubara Ombilin sudah tidak bisa dikais lagi, pada 1980-an pemerintah Sawahlunto bergerak menjadikan kotanya sebagai kota wisata sejarah  dengan menjadikan peninggalan situs pertambangan ini sebagai primadonanya. Selain itu, masyarakat Sawahlunto juga menjadikan industri rumah tangga tenun songket, yang dikenal dengan nama Songket Silungkang, sebagai salah satu tempuan penghidupannya. Tak sia-sia, Songket Silungkang yang merupakan warisan budaya nenek moyang berhasil menjadi produk ekspor. Anda dapat menyaksikan keindahan songket ini setiap tahunnya pada Karnival Songket Silungkang di Sawahlunto.

Masa lalu dan kekayaan alamnya membawa Sawahlunto pada keunikannya masa kini, yakni sebuah kota wisata sejarah, olahraga, dan budaya dengan alam yang mempesona.(***)

Ditulis bersama Vino Hadiz

Diedit oleh Liza Hadiz

Artikel ini telah dibaca 24 kali

Baca Lainnya

Mengenal Tradisi Balimau Menyambut Ramadhan Khas Melayu Nusantara

20 March 2023 - 21:24 WIB

Ini Lima Tradisi Sambut Ramadhan Ala Jogja

11 March 2023 - 22:00 WIB

Baju Kuruang Basiba Simbol Tradisi Pesona Wanita Minangkabau

3 February 2023 - 21:12 WIB

Kemenparekraf Tekankan Pentingnya Sinkronisasi Program Pusat dan Daerah

17 December 2022 - 10:39 WIB

Wamenparekraf: Bali Digital Fashion Week 2022 Terobosan Baru Industri Fesyen Indonesia

11 December 2022 - 16:19 WIB

Gunung Dempo, Jalur Pendakian Menantang di Sumatera Selatan

29 November 2022 - 20:04 WIB

Trending di Lensa Nusantara