Menu

Mode Gelap
 

Jejak Budaya · 21 Oct 2022 16:01 WIB ·

Sawahloento Tempoe Doeloe (1): Orang Rante dan Peradaban Eropa di Sumatera Barat


 Sawahloento Tempoe Doeloe (1): Orang Rante dan Peradaban Eropa di Sumatera Barat Perbesar

travel.topone.id–Hai sobat Travelers, di akhir pekan ini kita akan sedikit membuka tabir sejarah tentang Kota Sawahlunto, negeri tempat beradanya pertambangan batubara tertua di Indonesia yang saat ini sedang diusulkan menjadi kota tua warisan dunia dari UNESCO.

Secara topografi, Sawahlunto berada di ketinggian antara 250-650 meter dari atas permukaan laut. Pusat kota berada di lembah perbukitan dan dibelah oleh aliran sungai.

Pusat Kota Sawahlunto ibarat Hongkong lengkap dengan keindahan kerlap-kerlip lampu rumah-rumah penduduk yang bertebaran di areal tebing gugusan perbukitan yang mengelilingi kota itu pada saat malam hari.

Selain lampu-lampu di tebing yang memagari kota, di puncak Bukit Polan terpampang Landmark bertuliskan Sawahlunto dan juga tulisan Utamakan Keselamatan seperti tulisan Hollywood di bukit menuju wilayah film yang menguasai dunia itu.

Memasuki kota Sawahlunto, membawa imajinasi kita pada hiruk pikuk kegiatan kota tambang masa lalu.

Terbayang lalu lintas gerbong loko kereta api berisi batubara melintasi rel dengan suara berdesing. Lori-lori itu kini diam, stasiun kereta api yang dulu sibuk, kini membisu, menyisakan sejarah kota tambang dengan segala kemegahan di zamannya.

Travelers..Sawahlunto adalah sebuah kota yang telah menorehkan sejarah kehidupan tambang batubara dengan segala kisahnya.

Sawahlunto awalnya adalah daerah persawahan dan perladangan yang berada dalam wilayah adat nagari Kubang. Sawahlunto hanyalah kawasan kecil, terpencil dan berlokasi di tengah-tengah hutan belantara.

Jumlah penduduk waktu itu sangat sedikit. Sebagian penduduknya bertanam padi dan berladang di lahan yang tidak potensial karena sebagian besar permukaan tanah

Sejarah kota Sawahlunto bermula dari ditemukannya lapisan batubara oleh peneliti Belanda Ir.C.De Groet van Embden pada tahun 1858. Kemudian dilanjutkan oleh Ir. Willem Hendrik de Greve pada tahun 1867.

Dalam penelitian de Greve, diketahui bahwa terdapat 200 juta ton batubara yang terkandung di sekitar aliran Batang Ombilin, salah satu sungai yang ada di Sawahlunto.

Pada tahun 1875, Ir. Verbeek memperdalam riset ini dan menghasilkan temuan batubara dengan kualitas terbaik di Indonesia.

Penemuan de Greve mendorong Pemerintah Hindia Belanda bersama dengan kaum kapitalis asal negeri itu, berinvestasi mendirikan perusahaan tambang batubara.

Tercatat lebih kurang 20 juta gulden Belanda ditanamkan sebagai modal usaha di Sawahlunto.

Sejak tahun 1887, Sawahlunto mulai dirancang oleh Pemerintah Hindia Belanda menjadi pemukiman yang berorientasi pada industri tambang dengan investasi besar-besaran untuk pembangunan berbagai fasilitas pengusahaan tambang batubara Ombilin yang menyertainya.

Pemukiman ini terus berkembang hingga menjadi sebuah kota kecil dengan penduduk yang berintikan pegawai dan pekerja tambang. Infrastruktur pun dibangun di kota Sawahlunto.

Pada tanggal 1 Desember 1888 Sawahlunto resmi menjadi bagian dalam wilayah administrasi pemerintahan Hindia Belanda. Kota ini bergerak sangat cepat dan selanjutnya berlimpahan gulden dari galian black gold.

Sebagai pusat pelayanan tambang dan tempat bermukim kalangan atas pegawai tambang, Sawahlunto telah dirancang sempurna sebagai layaknya sebuah kota, dengan jaringan jalan, penataan bangunan, sistem drainase dan sanitasi yang telah disiapkan sangat terencana, sebagaimana layaknya penataan kota yang utuh.

Kala itu Sawahlunto berkembang sangat cepat menjadi kota tambang, karena ditemukannya keberadaan cadangan batubara yang sangat besar.

Lapisan-lapisan batubara berada pada posisi yang sangat dekat dengan pemukiman sehingga memungkinkan dilakukannya penambangan terbuka dengan koridor horizontal. Oleh sebab itu, konstruksi penambangan di dalam bumi tidak diperlukan.

Pada tahun 1891, pertambangan batubara Sawahlunto beroperasi dengan nama tambang batubara Ombilin. Sekarang dikenal dengan nama PT Bukit Asam, UPO. Pemerintah Hindia Belanda membangun infrastruktur seperti kantor-kantor, hotel, perumahan dan toko –toko yang bertujuan untuk menunjang pengelolaan tambang.

Batubara dari Sawahlunto banyak digunakan sebagai debu batubara dalam mesin uap standar, produksi semen dan dipadatkan menjadi briket untuk mesin uap yang membutuhkan performa tinggi.

Hal terpenting lainnya adalah bahwa pemerintah Hindia Belanda membuka jalur transportasi kereta api yang terintegrasi untuk memperlancar distribusi batubara hingga ke negeri kincir angin di Eropa.

Saat itu kota Sawahlunto menjadi pusat jalur kereta api yang menghubungkan Sawahlunto dengan Muara Kalaban, Pulau Aie, Padang Panjang, Bukittinggi, Solok, Payakumbuh dan ke Padang dalam waktu relatif singkat.

Sawahlunto menjelma menjadi kota tambang yang menarik minat banyak orang untuk datang.

Pekerja berdatangan dari berbagai wilayah di Indonesia. Kurang lebih dari 20 ribu orang adalah pekerja paksa yang dibawa oleh pemerintah Hindia Belanda dari penjara-penjara yang ada di berbagai kota di Indonesia.

Para pekerja paksa ini diawasi oleh mandor dan pengawas Belanda yang memperlakukan mereka dengan cara yang tidak manusiawi.

Para mandor memimpin tujuh orang rante, demikian mereka diistilahkan, dan diberi target produksi oleh pemerintah Hindia Belanda. Untuk mencapai target tersebut, para orang rantai dipaksa bekerja.

Tidak sedikit dari pekerja rodi ini yang sakit sampai meninggal dunia. Mereka yang selamat dari kekejaman neraka tambang inilah yang akhirnya menjadi nenek moyang sebagian penduduk Sawahlunto.

Travelers, di era kekinian Sawahlunto terus bergerak untuk menjadikan kawasan itu sebagai destinasi wisata terkemuka di Sumatera Barat dan Indonesia.

Sejumlah kawasan dan bangunan peninggalan penjajahan Belanda, disulap menjadi objek wisata yang menawarkan keaslian, keasrian dan estetika khas peradaban Eropa.

Tak hanya itu, untuk melengkapi sarana prasarana kepariwisataan Sawahlunto juga memiliki sejumlah objek wisata seperti Sawahlunto Waterpark, Sawahlunto Cinema dan Taman Satwa Kandi.

Kemudian, beberapa titik destinasi bentang alam pun dibenahi untuk menguatkan potensi serta dan diiringi beberapa Event unggulan diantaranya Sawahlunto Songket Carnival dan Sawahlunto Internasional Music Festival yang saat ini sudah masuk kalender event tetap pihak Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.

Travelers.. Melestarikan sejarah bukanlah semata-mata berbicara tentang masa lalu, melainkan bisa dijadikan sarana meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari sektor kepariwisataan.

Sawahlunto sudah memulai dan membuktikan itu. (***)

Narasi dan Foto: Ibenk S Pamungkas/ist
Editor: Rully Firmansyah

Artikel ini telah dibaca 132 kali

Baca Lainnya

Mengenal Silek Tradisi Minangkabau, Kearifan Lokal Warisan Masyarakat Adat Nusantara

14 March 2023 - 12:40 WIB

Tradisi Marandang, Persembahan Suku Minangkabau Untuk Dunia

10 March 2023 - 17:57 WIB

Menparekraf: Pekan Budaya Tionghoa Kampung Ketandan Perkuat Ekonomi Masyarakat

3 February 2023 - 12:53 WIB

Menelusuri Sisa Peradaban Hindu di Candi Gedong Songo Jawa Tengah (Tamat)

5 December 2022 - 12:36 WIB

Menelusuri Sisa Peradaban Hindu di Candi Gedong Songo Jawa Tengah (Bahagian 2)

3 December 2022 - 17:13 WIB

Menelusuri Sisa Peradaban Hindu di Candi Gedong Songo Jawa Tengah (Bahagian 1)

30 November 2022 - 22:01 WIB

Trending di Jejak Budaya