Simpang Ampek, travel.topone.id–Seni Tradisi Wayang Kulit yang merupakan warisan budaya suku Jawa, dikenal banyak menggambarkan kondisi dunia nyata yang diidentifikasi melalui kisah maupun lakon-lakon wayang yang dimainkan piawai oleh sang dalang.
Sebut saja sekuel kisah Ramayana dan Perang Bharatayudha yang kerap ditampilkan dalam berbagai versi dan alur hingga saat ini, sangat sarat akan pesan moral dan keteladanan yang berusaha disampaikan oleh para pujangga dan budayawan, demi menata akhlah dan prilaku masyarakat adat nusantara.
Kali ini, Top Travelers berhasil mewawancarai salah seorang pelaku seni tradisi Wayang Kulit di Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, Pak De Yanto Dalang.
Dalam bincang-bincang singkat itu, Pak De Yanto, sempat bercerita tentang keresahannya akan situasi masyarakat saat ini yang harus mengalami berbagai penderitaan karena adanya pertarungan oknum para elit yang mempertaruhkan rakyat demi ambisi pribadi.
Ia pun mengaitkannya dengan salah satu penggalan cerita pewayangan, yakni tokoh antagonis Mahesa Sura dan Lembu Sura yang memiliki daya sakti mandraguna dan ingin mempersunting Dewi Supraba, seorang bidadari yang cantik jelita.
Sesuai namanya, Mahesa Sura adalah sosok ksatria yang memiliki tubuh gagah perkasa namun wajahnya mirip kerbau, sementara adiknya Lembu Sura tidak kalah gagahnya dengan wajah mirip lembu atau sapi.
Dikisahkan, karena tingginya tingkat kepercayaan diri kedua tokoh berwajah binatang itu, mereka pun meminta kepada para dewa di Kerajaan Khayangan memberikan restu untuk mempersunting sang dewi.
Mendengar permintaan kedua ksatria sakti itu, khayangan pun bergetar karena keduanya mengancam jika tidak dikabulkan maka mereka akan berbuat onar dan menyerang negeri khayangan dengan kekuatan mereka.
Alkisah, para dewa pun meminta bantuan sepasang kakak adik ksatria sakti lainnya, Sugriwa dan Subali, untuk menjalankan misi membunuh dua tokoh antagonis itu.
Kedua ksatria ini pun menyanggupi titah para dewa dan seperti dikisahkan dalam versi lain, ksatria-ksatria yang gagah berani ini meminta anugerah untuk bisa mempersunting Dewi Supraba jika salah satu dari mereka kembali dalam keadaan hidup.
Rupanya, kecantikan Dewi Supraba ini pun cukup menggoyahkan nafsu aluwamah mereka yang akan berangkat menuju medan perang demi membela negeri khayangan, tempat bersemayamnya dewa-dewa junjungan mereka.
Singkat cerita, disepakati lah perang tanding antara Mahesa Sura dan Lembu Sura dengan Sugriwa dan Subali, yang akan dilangsungkan di sebuah gua perut gunung.
Ketika sampai di mulut gua, Subali menegaskan akan masuk sendiri mengalahkan dua jawara sakti itu dan meminta Sugriwa untuk tetap berjaga diluar untuk menjaga segala kemungkinan jika kedua makhluk berwajah binatang itu memenangkan pertempuran.
Kala itu, Subali memberikan petunjuk kepada saudaranya itu bahwa jika air sungai yang mengalir dari gua itu berwarna merah maka itu pertanda Mahesa Suro dan Lembu Suro berhasil ia kalahkan.
Namun jika air sungai bercampur warna putih maka itu pertanda Subali lah yang tewas, karena warna putih adalah warna darahnya.
Setelah menjalani persiapan, Subali pun masuk untuk memulai pertempuran yang sengit karena harus menghadapi tokoh sakti yang kekuatannya ditakuti para dewa sekalipun.
Dalam pertempuran adu kesaktian itu, Subali berhasil memecahkan kepala dua tokoh antagonis tersebut hingga cairan benaknya keluar dan mengalir ke sungai gua itu hingga terlihat oleh Sugriwa yang berada di mulut gua.
Melihat hal itu, Sugriwa pun langsung bertindak dengan menutup pintu gua agar Mahesa Sura dan Lembu Sura tidak bisa keluar lagi untuk berbuat onar.
Dengan perasaan berkecamuk, ia pun segera pergi ke negeri khayangan untuk melaporkan peristiwa itu yang meskipun saudaranya harus meregang nyawa namun ia berhasil mengatasi kekhawatiran para dewa dengan mengurung dua orang ksatria jahat itu di perut gunung.
Ia pun menagih janji untuk bisa dinikahkan dengan Dewi Supraba, sesuai janji para dewa maka Sugriwa pun diberikan restu untuk melangsungkan pesta pernikahan.
Saat pesta pernikahan berlangsung, Subali yang masih hidup berhasil keluar dari gua, ia pun mendengar lantunan suara gamelan pada pesta pernikahan Sugriwa dan Dewi Supraba.
Menyaksikan kenyataan itu Subali pun sangat kecewa dan merasa dikhianati oleh saudaranya itu, demi menjaga tidak kacau balaunya tatanan sosial maka ia pun memutuskan untuk menghindari keramaian dan bertapa menyepi jauh dari peradaban.
Pak De Yanto menjelaskan, dalam penggalan kisah tersebut tentu sangat banyak hikmah yang bisa dipetik dan bisa dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Seperti tokoh antagonis Mahesa Sura dan Lembu Sura, mengingatkan kita untuk tidak jumawa dengan kemampuan dan pengaruh yang kita miliki karena tidak ada kekuatan dan dan pengaruh tanpa batas bisa dimiliki seseorang sebagai hamba Allah SWT.
Karena Allah SWT bisa saja mengutus hambaNya yang lain yang diberikan kelebihan untuk menghacurkan angkara murka dan menebar kebaikan diatas bumi milikNya.
Sementara terkait tokoh ksatria sakti Subali dan Sugriwa, jelas meneladankan bahwa setiap kebaikan jika sudah dilakukan karena berharap sesuatu diluar ketentuan seperti berupa hadiah atau penghargaan, maka akan mempengaruhi rasa persatuan dan kesatuan pada sebuah perjuangan.
Kemudian, kisah ini juga menggambarkan bahwa sebaik apapun rencana yang disusun, jika tidak dijalankan dengan prinsip kehati-hatian maka bisa saja akan menjadi sumber petaka baru.
Dengan kata lain, setiap orang adalah pemimpin dan setiap pemimpin haruslah bertindak walk the talk, yakni mampu Menjalankan apa yang diucapkannya. Terlebih, bila itu adalah aturan yang disetujuinya sendiri.
“Karena dampak dari keputusan seorang pemimpin, akan mempengaruhi nasib orang-orang yang dipimpinnya, “ tutup Pak De Yanto Dalang. ***
Penulis: Rully Firmansyah
Foto: Lakon Wayang Mahesa Sura ( Courtesy Yanto Dalang)